Sebelum masuk ke review buku, aku musti cerita sedikit tentang awal mula aku ketemu sama suami yang sangat amat random. Pertama kali kenal di Phuket, karena ikut trip photography bareng Mama. Persis sebelum aku berangkat kuliah ke Melbourne, aku ikutan trip bareng Mamaku yang isinya bapak-bapak semua, sedangkan saat itu aku baru lulus SMA. Yang enggak bapak-bapak di group itu ya Dipta doang (itupun beda 7 tahun). Dulu itu belum ada Instagram adanya FB, dan di FB, mutual friends sama suami itu 0. Segitu random-nya.
Long story short, setelah melewati 3 tahun long distance dan aku lulus kuliah, kami menikah. Yes aku menikah di usia yang belia haha baru 21 tahun. Banyak banget yang komen, "Yakin mau nikah? Gak takut kehilangan masa muda dsb". Somehow enggak sih, mungkin karena aku orangnya gak terlalu panjang juga mikirnya, tapi lebih ikutin kata hati. Aku menjadi orang yang JAUH LEBIH BAIK, sejak sama Dipta. Kalau kenal aku dari dulu taulah aku orangnya selebor, rada males, berantakan, dan kurang motivasi. Semuanya berubah total sejak pacaran sama Dipta. Bayangkan saja dari yang dulunya di sekolah sering ditegur guru, dan ngerjain PR aja males, belajar ogah-ogahan lalu pas kuliah aku tuh nilainya lumayan oke, jadi Ketua PPIA (Persatuan Pelajar Indonesia Australia) di kampusku di Melbourne, aku kerja part-time di restoran, aku volunteer di non-profit organization, dsb. Bukan mau pamer CV yah ini, cuman drastis banget perubahannya. Jadi saat ditanya yakin mau nikah muda? Yakin 100% lho, gak ada ragu-ragu nanti ina itu.
Despite kecintaan kita sama pasangan, begitu menikah tentunya banyak adjustment sama gaya hidup, sifat, dsb yang mempengaruhi si hubungan itu sendiri. Aku sama suami sangat amat berbeda secara sifat, dia ambisius aku slow, dia lumayan perfectionist aku enggak, dia demen olahraga aku enggak, aku demen masak dia enggak, banyak ya kalau mau di list. Cuman perbedaan yang membuat kita melengkapi satu sama lain. Walaupun itu juga yang seringkali memulai pertikaian diantara kita. Beda umur yang 7 tahun juga mungkin sering jadi isu dalam point of view. Yang sama adalah prinsip hidup kami yang hidup nyaman bukan mewah, hidup balance, cara kami mengurus anak, yang inti-inti itu kita eye to eye.
Sejak ada anak kedua, mungkin karena mamak lelah, jadi lebih sering berantem, gak pernah ngedate, dan isu-isu sepele lainnya yang di ignore tapi menumpuk jadi luapan emosi. Long story short, saya yang lagi emosi dan sering berantem ini di rekomendasikan buku The 5 Love Language sama teman yang psikolog, and it's life changing!
Sejak ada anak kedua, mungkin karena mamak lelah, jadi lebih sering berantem, gak pernah ngedate, dan isu-isu sepele lainnya yang di ignore tapi menumpuk jadi luapan emosi. Long story short, saya yang lagi emosi dan sering berantem ini di rekomendasikan buku The 5 Love Language sama teman yang psikolog, and it's life changing!
Perlu dimenegerti dulu bahwa The 5 Love Language terdiri dari:
1) WORDS OF AFFIRMATION: aka kata2 manis dan pujian. “Kamu cantik/ganteng” “Terima kasih sudah bekerja keras untuk keluarga ini” “Terima kasih sudah menjaga anak2 dengan baik”
2) ACTS OF SERVICE: Suami menawarkan untuk jagain anak2, istri yang mengambilkan makan dan minum sepulangnya kerja, suami yg menawarkan pijatan saat istrinya lelah, dsb
3)AFFECTION: Sentuhan itu tadi dengan cium, peluk, berhubungan, dsb.
4)QUALITY TIME: Waktu berduaan yang fokus tanpa gangguan anak, hp, dsb. Tingkatan quality time ini juga beda2 ya. Jadi untuk irna bisa hanya ngobrol nonton downloadan malam2 sambil mesen gojek udah quality time. Tapi untuk aku perlu yg ngedate dinner cantik atau staycation gt karena kalau dirumah gak fokus. Banyakan ngomonngin anak. Baiknya ngedate jg gak ngomongin anak yaa
5)GIFTS.: Barang/kado, kasih bunga, coklat, kado
Jadi setiap manusia itu punya love tank alias ya si tanki cinta. Kalau ke 5 love language-nya terpenuhi dari pasangan tentunya kita akan merasa 100% happy. Tapi yg perlu dimengerti adalah setiap manusia punya love language yang DOMINAN alias PRIMARY LOVE LANGUAGE. Pasangan yang sering bertengkar berarti gak memahami si primary love language pasangannya.
Contohnya kita melihat suami si A rajin membelikan bunga, coklat, dan barang macam-macam tapi kok istrinya ngeluh terus? Ternyata love language isi A bukan benda melainkan kata-kata manis. Jadi dengan membelikan barang itu bukan yang ia perlukan. Si A perlu sering dipuji cantik tiap hari, hebat masaknya, hebat ngurus anak. Diberikan pujian membuat si A tenang dan senang, love tanknya juga terisi dengan cukup.
Beda lagi sama si B, yang dipuji-puji tapi kok gak pernah puas. Ternyata yang diperlukan sama si B adalah acts of service alias bantuan. Bantuan untuk ngurus anak, untuk dibawain barangnya, untuk mungkin bener-benerin yang rusak di sekitar rumah. Jadi dibeliin barang sama dipuji seneng sih, cuman kok rasanya masih ada yang kurang ya. Oh ternyata gak terlalu perlu kok dibeliin barang terus menerus, tapi yang diperlukan sama si B adalah suami yang hands-on.
Bukan berarti mengesampingkan yg lain ya. Tentu kalau bisa memenuhi semua lebih baik lagi. Tapi kita harus paham betul love language suami kita yang UTAMA. Makanya beda banget ya saat pacaran sama sudah nikah. Karena saat pacaran kita maximum effort mengisi kelimanya ke pasangan kita. Nah secara udah punya anak, agak lebih sulit dilakukan semua secara maximal. Kalau yg primary sudah kita lakukan biasanya hubungannya di taraf aman. Jadi gak mudah bertengkar.
Jadi misalkan suami primary love language-nya quality time, kalau sudah mulai rungsing berarti kita kurang ngedate dan udah terlalu banyak ngomongin anak. Begitupun aku yang primary love language-nya words of affirmation. Kalau udah mulai sering emosi, dan bt gak beralasan berarti kurang dipuji hahahah.
Jujur sih saya belum berubah sepenuhnya, namun membaca buku ini gak hanya memperbaiki hubungan dengan pasangan sih, tapi kita jadi bisa lebih memahami anak, orang tua, mertua, dan orang disekitar. Semoga sharing dan short summary-nya berguna ya, dan mendapat pencerahan untuk hubungannya dengan suami! So, what is your primary love language?
ini bener bangeet syaaa, aku kan berasa banget pas punya anak kedua keadaan emosi jauh berbeda malah, makanya pas rajin ngeDate lagi (walaupun msh terhitung jari hihi) bikin beda banget ^^ semangat nessss!
ReplyDeleteWaktu awal-awal pacaran aku sama pacar (sekarang suami hihi) pernah tes love language ini. Setelah nikah 2 tahun belum pernah tes ulang, rasanya sih bakal ada yang berubah, apalagi sekarang udah punya anak juga.
ReplyDeleteTes ini nolong kami banget sih untuk lebih mengerti pasangan. Secara nggak langsung meningkatkan kualitas hubungan juga.
Thank youuu udah sharing ini, Kak (:
simpel banget tapi nyatanya hal seperti ini sering dilupakan, huhuhu. untung mampir ke sini dan baca ini
ReplyDelete